for more info :
Indonesia mempunyai ± 1.539 jenis burung (Bird life, 1995). Dari total jenis burung yang ada di Indonesia tercatat 104 jenis termasuk dalam katagori secara global terancam punah. Pentingnya untuk mengetahui kondisi sebenarnya dan upaya untuk membantu upaya pelestarian burung-burung yang ada dialam nampaknya banyak mendorong peneliti-peneliti melakukan penelitian tentang burung tersebut sehingga nantinya dalam waktu kedepan jumlah jenis burung yang terancam punah pun dapat lebih diminimalkan.
Mahluk hidup pada kenyataannya tidak selalu mempunyai kerapatan (density) yang sama dalam ruang dan waktu. Ada mahluk hidup yang pada suatu saat tersebar luas dengan kerapatan yang tinggi, tetapi pada saat lain menciut dan sulit dijumpai. Adanya kenyataan itu membuat mahluk hidup itu mempunyai sifat emdemik, tersebar jarang dan menjadi relik (tersisa). Mahluk yang endemik tersebar secara terbatas disuatu daerah atau bagian dari suatu daerah dan secara hidupan liar tidak terdapat di tempat lain. Sedangkan mahluk yang tersebar jarang secara alami tidak mempunyai populasi dengan kerapatan tinggi melalui kejarangan berbiak, persaingan antar individu sejenis maupun tidak sejenis serta penyebab-penyebab alami lainnya tergolong pada mahluk langka. Sementara itu mahluk akan menjadi langka apabila terjadi suatu persaiangan hebat antar jenis pada habitatnya.
Keterbatasan populasi suatu satwa liar dapat pula terjadi oleh sebab-sebab tidak alami yaitu karena prilaku/ulah manusia yang terlalu over berprilaku yang tidak ramah lingkungan, misalnya dalam kegiatan perburuan liar dan merubah suatu habitat hunian satwa liar menjadi fungsi lain yang menyebabkan satwa yang ada semakin terdesak dan menurun populasinya.
Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) adalah salah satu contoh satwa langka dan endemik yang ada di Indonesia tepatnya di pulau Bali dengan sebaran terluasnya antara Bubunan Buleleng sampai ke Gilimanuk, namun pada saat ini menciut hanya terbatas pada kawasan Taman Nasional Bali Barat tepatnya di Semenanjung Prapat Agung dan Tanjung Gelap Pahlengkong yang habitatnya bertipe hutan mangrove, hutan pantai, hutan musim dan savana .
Pemerintah sangat serius untuk memperhatikan kelestarian satwa endemic yang terancam akan kepunahan ini, karena selain terletak di pulau dewata yang terkenal dengan wisatanya, keberhasilan program pelestarian Jalak Bali(Leucopsar rothschildi) akan menunjukan kepada dunia internasional bahwa Indonesia juga memperhatikan lingkungan melalui prinsip konservasi serta merupakan kewajiban setiap insan untuk mempertahankan dan melestarikan kehidupan liar sebagai wujud untuk mensyukurinya karena hutan dan isinya sangat berguna bagi manusia . Namun diakui semakin kita giat dan berupaya keras untuk melakukan pelestarian Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) di alam melalui penerapan peraturan perundangan yang ada, pembinaan habitat serta pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan-penyuluhan ternyata tantangan dan permasalahannya semakin banyak ditemui dan dirasakan. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kelangkaan pada Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) selain pada faktor alamiah (kualitas habitat, adanya predator, penyakit, satwa pesaing, maupun mati karena usia tua) juga faktor adanya ulah oknum manusia yang tidak bertanggung jawab.
JALAK BALI (Leucopsar rothschildi)
Morfologi
Dalam ilmu biologi Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) mempunyai klasifikasi sebagai berikut :
· Phylum : Chordota
· Ordo : Aves
· Famili : Passeriformis
· Spesies : Leucopsar rothschildi, Stressmann, 1912
· Nama lokal : Curik Bali, Jalak Bali, Jalak Putih Bali
Ciri-Ciri
1. Bulu
Bulu seluruhnya putih kecuali ujung sayap dan ujung ekor yang berwarna hitam.
2. Mata
Matanya berwarna coklat tua, daerah sekitar kelopak mata tanpa bulu berwarna biru tua.
3. Jambul
Jalak Bali memiliki jambul yang berupa beberapa helai bulu, jantan bentuknya lebih indah dan mempunyai jambul lebih panjang dari pada yang betina.
4. Kaki
Kakinya berwarna abu-abu pucat dengan jari jemari yaitu satu kebelakang, dan tiga jari lainnya kedepan.
5. Paruh
Paruh runcing dengan panjang ± 2–5 cm, berbentuk khas yaitu dibagian atasnya terdapat peninggian yang memipih tegak. Warna paruh abu-abu kehitaman dengan ujung kuning kecoklatan (Sungkawa, 1974 ; Alikodra, 1979).
6. Ukuran
Antara burung jantan dan betina sulit dibedakan, perbedaannya adalah bahwa yang jantan agak lebih besar dan memiliki kuncir yang agak panjang.
7. Telur
Jalak Bali bertelur 2-3 butir, berwarna biru ( Suryawan , 1995 )
Waktu Berbiak di Alam
Pada kenyataan dilapangan waktu perkembangbiakannya, Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) cenderung bersamaan dengan musim hujan yang mana dimungkinkan karena pada musim tersebut tersedia banyak pakan alam di habitatnya dan juga suhu serta kelembabannya dimungkinkan cukup ideal dalam keberhasilan penetasan telurnya sementara beberapa pemerhati Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) menyatakan :
1. Jalak Bali Leucopsar rothschildi) melakukan perkawinan dalam bulan Oktober sampai dengan Januari (Alikodra,1979) .
2. Jalak Bali (Leucopsar rothschildi)berkembang biak pada bulan Januari samapai dengan bulan Juli , cenderung lebih dipengaruhi oleh musim hujan (Suryawan, 1995)
3. Periode kembang biak Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) dimulai sejak musim penghujan, yaitu berkisar pada bulan Januari sampai dengan bulan Maret (Natawira, 1978).
Sarang
Pembuatan sarang dilakukan bersama-sama oleh jantan dan betinanya dan disusun pada dasar lubang sedemikian rupa, lubang sarang tidak dibuatnya sendiri akan tetapi menempati bekas sarang yang dibuat oleh jenis burung Pelatuk atau Bultok dan atau lubang alami pada batang pohon yang terdapat lubang secara alami (gerowong). Bahan yang digunakan untuk menyususun sarang antara lain daun-daun dan rumput kering, ranting, dan bulu burung. Jenis pohon yang secara umum ditempati Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) untuk berkembang biak adalah pohon Talok (Grewia koordersiana), Walikukun (Schoultenia ovata), Laban (Vitex pubescens), dan Klumprit (Terminalia microcarpa).
Penyebaran
Keberadaan penyebaran Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) sesuai dengan sejarahnya berada anatara Desa Bubunan Singaraja sampai dengan Gilimanuk tetapi dari tahun ketahun penyebarannya pun menjadi lebih kecil dan menyempit. Pada masa sekarang ini Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) terbatas hanya menempati Semenanjung Prapat Agung, khususnya di wilayah Teluk Berumbun dan dilokasi Tanjung Gelap Taman Nasional Bali Barat. Menurut IUCN (1966) dalam Suwelo (1976), Jalak Bali masih ditemukan hidup liar diluar kawasan Taman Nasional Bali Barat yaitu di Bubunan (50 km sebelah timur kawasan). Demikian juga Kuroda (1933) menyatakan yang dikutip oleh Euis (1990) pernah menangkap Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) di daerah Bubunan dan Pulaki (25 km sebelah timur kawasan) untuk kepentingan penelitian.
Sejarah Penemuan
Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) pertama kali ditemukan oleh Dr. Baron Stressmann seorang ahli burung berkebangsaan Inggris yaitu pada tanggal 24 Maret 1911 ketika terjadi kerusakan kapal Ekspedisi Malaku II yang mengangkut para biologiawan dan rombongan penelitian terpaksa mendarat di Singaraja selama ±3bulan. Disekitar Bubunan, Dr. Baron Stressmann menembak Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) untuk kepentingan penelitian. Kemudian pada tahun 1925, Dr. Baron Victor Van Plessenn meninjau pulau Bali dan mengadakan penelitian lebih lanjut atas anjuran Dr. Stressmann, ia menemukan penyebaran Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) mulai dari Desa Bubunan sampai dengan Gilimanuk dengan jumlah masih ratusan dan hidup berkelompok (berkoloni). Pada tahun 1928 sebanyak 5 (lima) ekor Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) dibawa ke Inggris dan pada tahun 1931 telah berhasil berkembang biak . Pada tahun 1962 kebun binatang Sandiego di Amerika Serikat mengembangbiakan Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) (Rindjin, 1989).
Status
1. Sejak tahun 1966, IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) telah memasukkan Jalak Bali kedalam red data book, yaitu buku yang memuat jenis flora dan fauna yang terancam punah.
2. Pada konvensi perdagangan internasional bagi jasad liar CITES (Convention on International Trade in Endegered Species of Wild Flora and Fauna), Jalak Bali terdaftar dalam Appendix I, Yaitu kelompok yang terancam kepunahan dan dilarang untuk diperdagangkan .
3. Pemerintah Indonesia mengeluarkan Surat Kepmen. Pertanian Nomor 421/kpts/Um/70 tanggal 26 Agustus 1970, yang menerangkan antara lain bahwa Jalak Bali dilindungi .
4. Dikatagorikan sebagai satwa Endemik Bali karena Jalak Bali habitat aslinya hanya ada di pulau Bali tidak ada di habitat lainnya (saat ini ruang hunian menyempit hanya ada dikawasan Taman Nasional Bali Barat).
Populasi
Menurut Anonimous, (1999) bahwa kondisi populasi Jalak Bali Leucopsar rothschildi) sejak tahun 1974 sampai tahun 1997 cenderung berfluktuasi lebih dipengaruhi oleh konflik kepentingan kawasan dimana beberapa bagian habitat alaminya tergusur karena kepentingan konversi (perubahan system), selain dari itu laju pertumbuhan penduduk dengan berbagai kepentingannya berpengaruh nyata makin menekan laju pertumbuhan populasi . Sementara pada saat ini ruang hunian (home ring) dari pada Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) tidak lebih dari 1000 hektar pada 2 lokasi yaitu di Teluk Berumbun wilayah Semenanjung Prapat agung dan Tanjung Gelap wilayah Pahlengkong.
DINAMIKA POPULASI
Berdasarkan sejarah penyebaran terdahulu pada periode 10 tahun terakhir diketahui bahwa burung Jalak Bali(Leucopsar rothschildi) memiliki wilayah sebaran relative cukup luas antara lain masih dijumpai diwilayah Semenanjung Prapat Agung tepatnya di wilayah Teluk Kelor yang meliputi Asam Kembar, Kali Ombo, Bukit Kelor, Bukit Utama, Kesambi pos, gondang barat dan lembah kesambi. Sedangkan wilayah Teluk Berumbun meliputi daerah Trianggulasi, Kesambi tali, Gondang timur, Laban lestari, menara Shaolin, Kemloko bawah/ belakang atas pos, bukit ponton timur kubah dan kelompang.
Pada wilayah hunian Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) yang ada di Tanjung Gelap hanya berada pada kisaran Kandang pelepasan, Pertigaan Bali Tower, Belakang Bali Sadle, dan Pertigaan Monsoon Forest.
Adapun hasil inventarisasi pada periode Oktober 2008, yang dilakukan oleh para Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Taman Nasional Bali Barat, diketahui bahwa jumlah Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) yang terpantau pada wilayah sebaran Teluk Berumbun sebanyak 14 ekor termasuk 1 anakan dari 32 ekor yang dilepas. Sedangkan pada wilayah hunian Tanjung Gelap sebanyak 16 ekor termasuk 1 anakan dari 20 ekor yang telah dilepas sehingga jumlah keseluruhan Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) yang ada di kawasan Taman Nasional Bali Barat (alam liar, selain di Pusat Penangkaran Jalak Bali Tegal Bunder) sebanyak 30 ekor. Sehingga terjadi penyusutan sebanyak 22 ekor dari total yang dilepas, belum termasuk keberhasilan beberapa anakan yang pada saat inventarisasi tidak ditemukan.
Faktor Pembatas
Daya Biak
Pada Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) yang ada di habitat dari hasil monitoring para petugas lapangan yang ada di lingkup BTNBB menyatakan bahwa Jalak Bali berkembang biak rata-rata 1 s/d 2 kali dalam setiap musim pada pasangan yang sama, namun hal itu bisa tidak terjadi akibat dari beberapa gangguan predator dan pesaing penguasa sarang yang ada . Pada keberhasilan anakan (telur menetas) rata-rata berjumlah antara 1-2 ekor anakan pernah terjadi 3 anakan namun hal itu terjadi sangatlah langka. Belum lagi jumlah populasi yang tergolong sedikit sangat dikawatirkan nantinya terdapat perkawinan yang sedarah sehingga anakan menjadi tidak normal . Sehingga dalam hal ini perlu adanya penelitian/ kajian berapa idealnya populasi Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) mendiami suatu luasan habitat.
Kondisi Habitat
Pada intinya suatu binatang (satwa liar) akan bertahan hidup pada suatu tempat (habitat) , tidak berpindah dan dapat berkembang biak dengan baik karena habitatnya dapat memenuhi kebutuhan hidup mulai dari kebutuhan akan air, makan, tempat berlindung (cover), tempat bersarang dan keseimbangan antara populasi suatu satwa dengan predator serta satwa yang bersimbiosis menguntungkan atau yang menjadi pesaingnya. Adapun hal tersebut biasa disebut faktor-faktor pendukung suatu habitat yang ideal.
a. Sumber Air
Pada kenyataannya mulai dahulu habitat Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) yang ada di Semenanjung Prapat Agung tidak ada sumber air tawar, disana hanya terdapat kubangan-kubangan air payau yang pada saat air laut pasang terdapat genangan, sebaliknya pada saat air laut surut menjadi kering hal ini dimungkinkan menjadi faktor semakin menurunnya populasi. Namun saat ini telah dilakukan upaya pembinaan habitat melalui pemberian bak-bak satwa kecil yang diletakkan pada sekitar sangkar pengadaptasian Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) sebelum dilakukannya pelepasan.
b. Vegetasi
Seperti pada umumnya satwa liar pasti akan membutuhkan tumbuh-tumbuhan untuk bahan makanannya maupun sebagai tempat perantara mencari makan (hunting food) serta dapat digunakan untuk berlindung dari serangan predator. Pada habitat Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) vegetasi yang menyusun habitat Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) yaitu adanya hutan mangrove, hutan musim yang didominasi pohon Talok (Grewia koordersiana), Walikukun (Schoultenia ovata), Pilang (Acasia leucoplea), Tekik (Albizzia lebeckioides), Kemloko (Phylantus emblica), Kesambi (Schleichera oleosa), Laban (Vitex pebescens), Putian (Symplocos javanica), Krasi (Lantana camara) dan Kayu Pait (Strycnos lucida).
Pada musim kemarau pada jenis-jenis pohon yang terdapat pada formasi hutan musim menjadi mengering dan terasa ektrim untuk kehidupan liar yang ada, sedangkan Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) pada umumnya juga perlu pemenuhan protein nabati dari tumbuh-tumbuhan tersebut.
Kemudian pada tumbuh-tumbuhan yang ada tersebut merupakan tempat Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) juga mencari jenis serangga sebagai jenis pakan favoritnya tetapi pada waktu musim kemarau hal itu sangat sulit didapatnya karena suhu yang panas akibat kemarau panjang sehingga terjadi penurunan kualitas habitat.
c. Predator
Seperti kita kitahui Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) yang ada dihabitat sekarang ini merupakan Jalak Bali(Leucopsar rothschildi) yang secara keseluruhan merupakan hasil lepasan dari penangkaran yang mulanya terkena rasa ketergantungan oleh manusia sehingga perlu adanya adaptasi yang lama terhadap habitat yang dihuninya karena jenis predator pada kenyataannya cukup beraneka ragam mulai dari Elang Perut Putih(Haliaetus loeucogaster), Elang Ular (Spilornis chela), Alap-alap Capung (Microhierak fringilarius), Biawak(Varanus gauldi), Ular, Musang hitam dan kucing hutan.
Pada rentan waktu ±1 tahun berawal dari pelepasan sampai dengan kegiatan inventarisasi yang dilakukan pada 2008 ini ternyata banyak kejadian yang berindikasi pada penyerangan predator terhadap Jalak Bali (Leucopsar rothschildi). Penemuan-penemuan barang bukti Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) yang diindikasikan adanya serangan dan pemangsaan dari predator mayoritas ditemukan dekat sarang yang dikuasainya berupa bulu-bulu serta sisa kaki dan ring warna maupun ring nomor identitas .
d. Satwa Pesaing
Satwa pesaing ini ternyata berpengaruh pada keberhasilan peningkatan populasi Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) terbukti dengan adanya kejadian jenis burung Raja Udang melakukan perebutan kekuasaan wilayah sarang gowok yang ada dihabitat, Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) yang merupakan hasil dari lepasan penangkaran ada yang kalah bersaing dan mengakibatkan luka parah dengan berakhir pada kematian . Begitu juga pada lebah madu, mereka juga merupakan pesaing dalam penguasaan sarang gowok yang ada.
e. Indikasi Tempat bersarang
Pada dasarnya Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) dalam mempatkan telurnya tidak seperti halnya jenis burung lain yang mampu membuat sarangnya dengan menata ranting dan semak pada dahan atau tajuk pohon. Jalak Bali(Leucopsar rothschildi) meletakkan telurnya pada rongga-rongga pohon alami atau bekas sarang gowok jenis burung bultok maupun pelatuk sedangkan dihabitatnya dapat terbilang sangat minim adanya sarang gowok alami yang diindikasikan dapat digunakan sebagai sarana untuk menetaskan telurnya.
Perburuan Liar
Konon berdasarkan kabar burung yang tidak jelas arahnya, yang beredar dimasyarakat, Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) mempunyai harga setiap ekornya dapat mencapai 10 juta rupiah di pasar gelap. Benar atau tidaknya isu ini berdampak negatif bagi keberadaan populasi Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) karena secara tidak langsung memicu masyarakat untuk mengeksploitasinnya meskipun akan berhadapan dengan hukum yang berlaku.
Pada kenyataannya menurut informasi tenaga fungsional polhut, setelah diadakan pelepas liaran Jalak Bali(Leucopsar rothschildi) ke habitat pada awal bulan Desember 2007 , terdapat penemuan barang bukti di daerah Tebing Gondang yang diindikasikan sebagai percobaan perburuan pada Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) berupa sabit, senter dan pulut (semacam lem dari getah pohon) yang masih disimpan rapi didalam toples plastik, hal itu ditemukan pada saat berpatroli pada beberapa minggu setelah pelepasan. Kemudian polhut juga menginformasikan adanya percobaan perburuan lagi, bahkan mereka sempat meletuskan beberapa tembakan kearah pelaku, karena pelaku sangat gesit dan lihai akhirnya hanya barang bukti pemikatnya yang dapat diambil oleh petugas polhut .
Adapun permasalahan yang mengakibatkan mudahnya pemburu masuk dan melakukan aksinya adalah karena akses dari kawasan Taman Nasional Bali Barat yang mudah dijangkau serta banyak pintu masuk, karena dikelilingi oleh laut serta wilayah yang tidak menyatu pada satu wilayah yang utuh karena terpecah-pecah oleh keberadaan hutan produksi dan terbelahnya kawasan dengan jalan raya menuju arah Singaraja.
Pemasangan Ring Burung Lepasan
Untuk membedakan antara burung lepasan dengan burung asli alam di habitat, para ahli burung menyarankan untuk melakukan pengidetitasan sebelum dilakukann pelepasan baik melalui pemasangan ring maupun pemasangan Chive Transponder kedalam tubuh burung. Pada kenyataannya Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) lepasan yang telah dipasang ring identitas secara riil mengganggu keberadaan burung bahkan mengarah pada terlukanya kaki yang dapat mengakibatkan cacat pada burung Jalak Bali (Leucopsar rothschildi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar